Selasa, 9 Maret 2010 | 16:07 WIB
Shutter Stock
Ilustrasi
TERKAIT:
Awas, Obat Tidur Bikin Lansia Ingin Bunuh Diri!
Cemas Bikin Anda Rentan Diabetes
Bermain, Atasi Kecemasan Anak
Memerangi Bola Salju Kecemasan
JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang mahasiswa S2, koordinator
kelas, sebutlah namanya Christin, membuat teman-teman sekelasnya
terheran-heran. Pasalnya, Christin yang aktif, senang bercanda, dan memiliki
postur tubuh bak atlet itu ternyata memiliki kecemasan yang irasional, hanya karena
mendengar kata “kecoak”.
Dengan muka tegang ia sibuk menutup telinga dengan
saputangan tebal ketika teman-temannya bicara tentang kecoak. Ironis
kedengarannya. Kenyataannya, keadaan seperti ini benar-benar dialami oleh
sebagian dari kita, meski dengan intensitas dan objek yang berbeda-beda.
Kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi negatif. Baik
bersifat rasional maupun irasional ini merupakan persoalan tersendiri bagi yang
mengalaminya. Oleh sebab itu, kita perlu memiliki keterampilan untuk mengatasinya.
Apa itu Kecemasan?
Perihal rasa cemas, semua orang mengetahui dan pernah
merasakannya. Namun, untuk menjelaskan apa itu kecemasan kita mungkin memiliki
jawaban yang berbeda-beda.
Dalam Psikologi, ada yang menjelaskan bahwa kecemasan
merupakan ketakutan yang tidak realistis, suatu perasaan terancam ketika
merespon sesuatu yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengancam. Ini berbeda
dengan ketakutan, yang bersifat realistis, benar-benar karena sesuatu yang
menakutkan.
Untuk menghindari pengertian antara cemas dan takut (juga
dengan nervous dan tegang) yang pada dasarnya tidak terlalu jelas perbedaannya,
kita dapat berpegang pada penjelasan yang diberikan Calhoun & Acocella
(1990). Menurut mereka, kecemasan merupakan suatu perasaan takut (realistis maupun
tidak), disertai peningkatan gejolak fisiologis.
Bagaimana kecemasan berkembang, khususnya yang tidak
realistis?
Sigmun Freud dengan teori psikodinamikanya menjelaskan,
kecemasan yang tidak realistis (seperti halnya kecemasan karena kecoak), merupakan
gejala dari rasa takut yang lebih mendalam. Biasanya berhubungan dengan alam
bawah sadar yang berkaitan dengan dorongan seksual atau agresif, yang menerobos
kontrol ego menuntut pemuasan, dan akhirnya menimbulkan ketakutan luar biasa
pada diri individu.
Lain halnya penjelasan dari aliran perilaku (behaviorism)
dengan tokoh-tokoh Watson, Skinner, dll. Kecemasan yang realistis maupun yang
tidak realistis menurut mereka merupakan hasil pengondisian respon.
Contohnya, seorang anak mengenal kecoak bersamaan dengan
peristiwa lain yang mengerikan (misalnya ia terkunci di kamar mandi dan
menemukan gerombolan kecoak di saluran pembuangan). Hasilnya, ia mempelajari
dan merespon kecoak sebagai makhluk yang mengerikan. Hal ini dapat terbawa
hingga dewasa.
Kecemasan mempunyai tiga komponen, yaitu emosional,
kognitif, dan fisiologis. Dalam komponen emosional, individu mengalami perasaan
takut yang intens dan disadari. Dalam komponen kognitif, peningkatan rasa takut
akan mengacaukan kemampuan individu untuk berpikir jernih.
Dalam komponen fisiologis, tubuh merespon ketakutan dengan
memobilisasi diri untuk bertindak, baik dikehendaki ataupun tidak. Respon
fisiologis ini merupakan hasil kerja sistem saraf otonom yang mengendalikan
berbagai otot dan kelenjar tubuh.
Respon fisiologis ketika terjadi kecemasan antara lain detak
jantung meningkat, irama napas lebih cepat, pupil mata melebar, proses
pencernaan terhenti, pembuluh darah menyempit, tekanan darah naik, kelenjar
adrenalin dalam darah meningkat. Itu semua menyebabkan individu menjadi tegang
dan siap melakukan tindakan menyerang atau melarikan diri dari situasi yang
ada.
Kecemasan, bila terjadi dalam level sedang dan dalam keadaan
memang ada hal yang harus ditakuti (misalnya sedang menghadapi wawancara
kerja), merupakan hal normal. Akan menjadi masalah bila kecemasan terlalu
tinggi dan tidak sesuai dengan situasi yang ada (tidak realistis).
Kecemasan semacam ini akan memerosotkan sumber daya fisik
dan fisiologis kita. Lebih jauh lagi, dapat mengurangi rasa berharga, merasa
kecil, dan tidak berdaya.
Menganalisis Kecemasan
Pola kecemasan berbeda-beda antara orang yang satu dengan
yang lain. Perbedaan itu antara lain dalam hal penyebab yang memicu kecemasan
(anteseden), keadaan cemas itu sendiri (tingkat kecemasan, gejala), dan
konsekuensi yang ada setelah terjadi kecemasan.
Untuk mengendalikan kecemasan, terlebih dahulu kita perlu
melakukan analisis terhadap kecemasan tersebut.
Pertama, kita tentukan apa yang membuat kita cemas: Karena
melihat kecoak? Karena harus mengalahkan orang lain dalam suatu hal
(kompetisi)? Atau karena menghadapi soal-soal ujian?
Bila kecemasan itu karena kecoak, perlu dipastikan apakah
bulunya yang membuat cemas? Atau baunya?
Dalam situasi seperti apa kecemasan terhadap kecoak itu muncul:
Kalau melihat? Kalau mendengar kata kecoak? Kalau melihat di kamar? Hanya kalau
malam atau sembarang waktu?
Kedua, kita menentukan penyebab internal (dari dalam diri),
yakni dengan memeriksa kecemasan itu sendiri: Apakah yang kita pikirkan dan
kita rasakan saat terjadi pengalaman kecemasan itu?
Bila kecemasan karena kecoak, perlu diperiksa: Apakah
bayangan kecoak bergerombol muncul kembali setiap kali melihat kecoak? Apakah
kecoak itu membangkitkan rasa muak yang luar biasa? Ataukah kecoak mengingatkan
pada peristiwa mengerikan?
Ketiga, kita mendeskripsikan konsekuensi dari kecemasan itu.
Apa yang kita lakukan dengan mengalami kecemasan? Bila cemas karena kecoak,
perlu dideskripsikan respon apa yang terjadi setelah timbul kecemasan: Apakah
kita lari, bersembunyi, atau menghindar? Seperti apa akibatnya terhadap tubuh,
terhadap perasaan, dan terhadap pikiran (kognisi)?
Mengelola Kecemasan
Setelah melakukan analisis, kita dapat menentukan tindakan
apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
- Perencanaan
lingkungan
Berbagai stimulus (objek, orang, situasi) yang membuat kita
mengalami kecemasan bukanlah hal yang harus kita hadapi. Kita berhak
menghindari stimulus-stimulus tersebut.
Contohnya, film horor bukanlah sesuatu yang harus kita
tonton. Bila kita cemas/takut, kita dapat menghindari dengan tidak menontonnya.
Bila takut kecoak, kita dapat menghindarinya di rumah dengan cara membasminya.
Di luar rumah, kita dapat menghindari kecoak dengan cara sebisanya menghindari
tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang kecoak.
Namun, tidak semua stimulus yang membuat cemas dapat kita
hindari begitu saja. Contohnya, kecemasan tinggi yang terjadi setiap kali mau
ujian, berbahaya bila kita atasi dengan menghindari ujian. Untuk itu kita perlu
mengatur agar kecemasan sewaktu ujian dapat berkurang dengan cara belajar
sampai tuntas dsb. Kalau kita cemas setiap kali orangtua bertengkar, tentu saja
kita tidak cukup hanya menghindari orangtua kita. Kita berhak meminta mereka
tidak bertengkar, mengatasi konflik dengan cara dialog yang baik.
Pendek kata, menghindar merupakan cara yang paling umum
dipilih dalam perencanaan lingkungan. Namun, cara menghindarinya perlu kita
pikirkan, agar hal lain yang lebih penting tidak dikorbankan.
- Relabeling dan
self-talk
Bila kita tidak dapat mengindari stimulus yang membuat kita
cemas, cara lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi pemicu internal, yakni
di dalam diri kita sendiri. Biasanya berupa pikiran dan ungkapan-ungkapan
negatif yang diikuti dengan emosi negatif.
Bila kita selalu cemas saat menghadapi ujian, mungkin itu
karena kita dalam hati berpikir tentang kemungkinan gagal, tentang soal-soal
yang tidak dapat dijawab. Oleh sebab itu, kita perlu mengganti dengan keyakinan
dan perkataan positif terhadap diri sendiri, “Mungkin tidak mudah, tetapi aku
akan dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik setelah aku belajar
sungguh-sungguh.”
Dalam kasus kecemasan terhadap kecoak, bila semula kita
menganggap kecoak sebagai monster yang mengerikan, ganti dengan pikiran bahwa
kecoak hanya seekor serangga yang tidak berbahaya. Kita dapat mengatakan pada
diri sendiri, “Aku pasti dapat menghadapi kecoak karena nyatanya kecoak
hanyalah serangga yang tidak berbahaya seperti jangkrik.”
Kita tidak perlu menyatakan sesuatu yang terlalu optimistis,
cukup yang realistis. Relabeling dan self-talk ini dapat menghambat respon
cemas yang biasanya terjadi secara otomatis.
- Desensitisasi
Respon cemas sedapat mungkin harus diubah agar kita tidak
lagi mengalami emosi negatif bila mendapat provokasi stimulus yang membuat
cemas. Cara yang sangat efektif adalah desensitisasi. Desensitisasi terdiri
dari dua langkah: rileksasi dan secara bertahap mengalami stimulus yang membuat
cemas.
Rileksasi dilakukan dengan cara melemaskan seluruh otot
tubuh, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Latihan ini untuk setiap bagian
tubuh disertai mengatur pernapasan perut (napas panjang). Pernapasan panjang
dimulai terlebih dahulu sebelum melemaskan bagian-bagian otot tubuh.
Setelah dicapai keadaan rileks, selanjutnya mulai berlatih
menghadapi stimulus yang membuat kita cemas. Hal ini dapat dengan cara
membayangkan (dapat dilakukan dengan gambar) maupun sungguh-sungguh
menghadapinya. Tampilan stimulus, misalnya kecoak, diperlihatkan dalam keadaan
yang paling tidak mencemaskan (misalnya hanya tampak sedikit sayapnya di balik
bunga).
Setelah berhasil, secara bertahap stimulus ditampilkan dalam
keadaan yang sedikit mencemaskan, misalnya satu sisi sayap kecoak tampak di
balik bunga). Demikian seterusnya.
Kombinasi rileksasi dan latihan menghadapi stimulus ini
dilakukan hingga seseorang benar-benar tidak lagi cemas menghadapi stimulus itu
apa adanya. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar